Lelaki itu tak tinggi, tidak juga pendek. Perawakannya terhitung kekar untuk usia kepala tujuh. Air mukanya keras, dengan garis-garis tegas sisa masa lalu yang tak berjalan mudah. Kulitnya hitam, namun tak legam. Jari-jari besarnya mengetuk-ngetuk meja dengan irama yang enak didengar, yang nampaknya dilakukannya tanpa sadar.
Di dalam ruang tamunya yang minim perabot, duduk kepala RW, kepala dusun, lelaki itu, dan kepala surau sebelah. Istri lelaki itu segera mundur setelah meletakkan minuman.
“Saya pokoknya ndak terima, pak Kades, pak RW! Ini namanya penghinaan! Penghinaan ke Gusti Allah, penghinaan ke kanjeng nabi! Sudah kafir sampeyan, pak Hasan!” kepala surau menunjuk-nujuk lelaki itu dengan muka merah padam. Dan nampaknya kedua tamu lainnya tak berniat menenangkan. Keduanya menatap pak Hasan dengan tatapan tak kalah murka.
“Sampeyan ini pendatang, pak Hasan. Ora usah nganeh-nganehi! Berani-beraninya bikin kisruh! Dari sejak kedatangan sampeyan, ndak berhenti kericuhan yang sampeyan bikin!” pak RW ikut menuding-nuding pak Hasan yang tak berubah sama sekali air mukanya. Tanpa ekspresi, menatap para tamu yang datang untuk mendampratnya.
Pak Hasan menghela nafas panjang, lalu berkata tenang,
“Pak Maksun, tolong beritahu saya, apa yang sudah saya lakukan sehingga Bapak menuduh saya menghina Allah dan Rasulullah.” Ditatapnya mata pak Maksun sang kepala surau dengan pandangan tajam.
Ditatap demikian, pak Maksun sedikit gentar, mengalihkan pandangannya dengan sedikit gugup, meski kemurkaannya tak berkurang sedikitpun. Harga dirinya sebagai pendiri sekaligus kepala surau merasa dilukai, dilecehkan, oleh kelakuan kurang ajar bapak tua di depannya.
“Ya menghina tho namanya, lha wong sampeyan seenak udelnya nurunin sepiker langgar*! Sepiker itu buat syiar islam, buat mengagungkan nama Gusti Allah, buat memuji kanjeng nabi! Sampeyan kuwi islamnya ora bener! Sesat sampeyan!”
“Iya, itu namanya menghina islam! Sampeyan ini sesat tenan! Islamnya islam opo! Islam katepe! Paling karena sampeyan iri, jamaah langgarnya pak Maksun lebih rame dari langgar depan rumah sampeyan ini!” pak RW ikut menambah panas suasana. Nampaknya ia lupa tugas utamanya untuk mendamaikan warga.
Pak Hasan nampak menahan emosi, mengepalkan tangan, mencengkeram tangan kursi reyot yang sudah nampak lapuk di sana sini.
“Lha kok saya malah merasa Bapak-bapak sekalian ini ya yang menghina Gusti Allah, dan ndak nuruti kanjeng nabi…” pak Hasan sengaja menggantung kalimatnya.
Muka ketiga orang tamunya langsung merah padam. Kalau mereka naga, pasti sudah menyemburkan api dari tadi, sudah terbakar habis rumah sederhana pak Hasan ini.
“Seenaknya malah nuduh kami sesat, wes keterlaluan sampeyan ini pak Hasan!” pak Kades yang sedari tadi hanya diam, tak sanggup lagi menahan kemurkaan. Seenak udelnya saja nuduh orang sesat, batinnya.
“Saya ndak nuduh sesat, cuma bilang, Bapak-bapak sekalian ini yang menghina Gusti Allah…”
“Menghina di sebelah mananya?! Sampeyan yang jelas-jelas menghina!” pak RW menggebrak meja. Nampaknya ia yang paling emosional dibandingkan kedua rekannya. Maklum, veteran tentara berpangkat terakhir letnan I.
Pak Hasan menarik nafas panjang lagi, mengumpulkan sisa-sisa kesabaran menahan diri.
“Lha gimana ndak menghina, lha wong Gusti Allah sudah Dhawuh, Gusti Allah itu Maha Mendengar. Ndak usah berdoa kenceng-kenceng pake sepiker, daun jatuh di tengah hutan aja Gusti Allah Mendengar. Lha opo sampeyan kira Gusti Allah itu tuli, sampe perlu teriak-teriak pakai sepiker buat berdoa?”
Muka ketiga tamu pak Hasan merah padam, antara menahan marah dan malu tak bisa membalas kata-kata pak Hasan.
“Saya kan sudah bilang baik-baik ke pak Maksun buat ndak usah pake sepiker kalau buat acara ngaji dan pujian malam-malam. Kasian sama anak-anak, orang tua di sekitaran langgar yang ndak bisa tidur gara-gara acara di langgar sampai tengah malem, kadang malah sampai pagi. Memuji kanjeng nabi itu sunnah memang. Tapi kan ndak harus pakai sepiker juga tho, kedengeran sampe ke desa tetangga. Lagipula…” pak Hasan menyeruput kopinya santai. Pahit. “Lagipula, gimana sampeyan mbayangin perasaan kanjeng nabi, yang ngajarin kita untuk ndak ngganggu tetangga, ngeliat sampeyan sekalian pujian yang bikin orang-orang ndak bisa istirahat tenang semaleman suntuk.”
Ketiga tamunya tak bisa menjawab, hanya mampu mengeraskan rahang dan mengepalkan tangan.
“Dan karena pak Maksun tetap ngeyel ndak mau ngecilin volume, malah tambah dikerasin, ya sudah saya ndak ada jalan lain tho? Ya saya turunin saja sepikernya, saya potong kabelnya. Selesai.” Pak Hasan terkekeh, memperlihatkan deretan giginya tuanya. Mata dengan bola mata kehijauan itu bersinar jenaka, seolah insiden penurunan sepiker surau itu kejadian lucu, dan seolah ketiga tamunya tak pernah marah-marah dan mendampratnya.
Pak RW tak sanggup lagi menahan kesabaran, menggebrak meja keras, menatap pak Hasan garang, dan berdiri, berjalan pulang dengan penuh kemarahan. Diikuti kedua sobat setianya, pak Maksun yang air mukanya sudah berubah dari marah menjadi sedikit malu karena tak bisa menafikkan ada rasa setuju pada kata-kata pak Hasan, dan pak Kades yang mengikuti kedua rekannya setelah menyeruput tandas kopinya, tadi pagi belum sempat ngopi.
Pak Hasan dengan kalem menyeruput lagi kopinya. Pelan mengambil koran pagi, dan mulai menikmati berita seolah tak pernah terjadi apa-apa di minggu pagi yang cerah itu.
Langgar: surau