Momentum

Ada yang memerlukan simbol untuk menandai sebuah momentum, demi memulai satu perubahan.

Dengan satu perubahan waktu, perubahan fisik, perpindahan ruang, atau sekedar selebrasi.

Padahal elemen penting demi satu perubahan adalah tekad, komitmen, dan kerja nyata. Tekun, ulet, kuat tak terkalahkan oleh diri sendiri. Dan masa lalu.

Sejeli apapun mengambil perubahan waktu, sedramatis apapun merubah fisik, sejauh apapun berpindah ruang, dan seheboh apapun merayakan dan mengumumkan, semua tak ada artinya bagi perubahan.

Mereka hanya pemuas diri yang ingin mencari pembenaran. Bahwa iya, saya berubah. Saya ingin berubah, akan berubah, dan pasti berubah. Meski tak terjamin akan benar-benar berubah. Meski tak terjamin, bahwa tekadnya sebesar simbol perubahan.

Semoga keinginan berubah ini tak seperti ledakan mercon. Kencang di satu momen, lalu lenyap jadi asap. Semoga penanda perubahan ini tak sekedar pendaran kembang api. Moncer bercahaya sejenak, sebelum jatuh jadi abu ke bumi.

Semoga perubahan ini, meski tak ramai, tak berpendar, tak menarik keramaian, benar-benar bisa membawa pada perubahan, menjadi sebaik-baiknya lebih baik. Pelan, tapi pasti, dan berlanjut, tak berhenti. Seperti cahaya bintang yang meski lemah berpendar tapi tak menyerah, menempuh jarak jutaan tahun cahaya, hingga tiba cahayanya di titik perubahan.
Karena perubahan untuk menjadi lebih kuat tak segampang berubah menjadi Ksatria Baja Hitam. Karena perubahan untuk menjadi lebih berguna tak seinstan moon-prism-power-make-up nya Sailormoon.

Speaker surau

Lelaki itu tak tinggi, tidak juga pendek. Perawakannya terhitung kekar untuk usia kepala tujuh. Air mukanya keras, dengan garis-garis tegas sisa masa lalu yang tak berjalan mudah. Kulitnya hitam, namun tak legam. Jari-jari besarnya mengetuk-ngetuk meja dengan irama yang enak didengar, yang nampaknya dilakukannya tanpa sadar.

Di dalam ruang tamunya yang minim perabot, duduk kepala RW, kepala dusun, lelaki itu, dan kepala surau sebelah. Istri lelaki itu segera mundur setelah meletakkan minuman.

“Saya pokoknya ndak terima, pak Kades, pak RW! Ini namanya penghinaan! Penghinaan ke Gusti Allah, penghinaan ke kanjeng nabi! Sudah kafir sampeyan, pak Hasan!” kepala surau menunjuk-nujuk lelaki itu dengan muka merah padam. Dan nampaknya kedua tamu lainnya tak berniat menenangkan. Keduanya menatap pak Hasan dengan tatapan tak kalah murka.

Sampeyan ini pendatang, pak Hasan. Ora usah nganeh-nganehi! Berani-beraninya bikin kisruh! Dari sejak kedatangan sampeyan, ndak berhenti kericuhan yang sampeyan bikin!” pak RW ikut menuding-nuding pak Hasan yang tak berubah sama sekali air mukanya. Tanpa ekspresi, menatap para tamu yang datang untuk mendampratnya.

Pak Hasan menghela nafas panjang, lalu berkata tenang,

“Pak Maksun, tolong beritahu saya, apa yang sudah saya lakukan sehingga Bapak menuduh saya menghina Allah dan Rasulullah.” Ditatapnya mata pak Maksun sang kepala surau dengan pandangan tajam.

Ditatap demikian, pak Maksun sedikit gentar, mengalihkan pandangannya dengan sedikit gugup, meski kemurkaannya tak berkurang sedikitpun. Harga dirinya sebagai pendiri sekaligus kepala surau merasa dilukai, dilecehkan, oleh kelakuan kurang ajar bapak tua di depannya.

“Ya menghina tho namanya, lha wong sampeyan seenak udelnya nurunin sepiker langgar*! Sepiker itu buat syiar islam, buat mengagungkan nama Gusti Allah, buat memuji kanjeng nabi! Sampeyan kuwi islamnya ora bener! Sesat sampeyan!”

“Iya, itu namanya menghina islam! Sampeyan ini sesat tenan! Islamnya islam opo! Islam katepe! Paling karena sampeyan iri, jamaah langgarnya pak Maksun lebih rame dari langgar depan rumah sampeyan ini!” pak RW ikut menambah panas suasana. Nampaknya ia lupa tugas utamanya untuk mendamaikan warga.

Pak Hasan nampak menahan emosi, mengepalkan tangan, mencengkeram tangan kursi reyot yang sudah nampak lapuk di sana sini.

Lha kok saya malah merasa Bapak-bapak sekalian ini ya yang menghina Gusti Allah, dan ndak nuruti kanjeng nabi…” pak Hasan sengaja menggantung kalimatnya.

Muka ketiga orang tamunya langsung merah padam. Kalau mereka naga, pasti sudah menyemburkan api dari tadi, sudah terbakar habis rumah sederhana pak Hasan ini.

“Seenaknya malah nuduh kami sesat, wes keterlaluan sampeyan ini pak Hasan!” pak Kades yang sedari tadi hanya diam, tak sanggup lagi menahan kemurkaan. Seenak udelnya saja nuduh orang sesat, batinnya.

“Saya ndak nuduh sesat, cuma bilang, Bapak-bapak sekalian ini yang menghina Gusti Allah…”

“Menghina di sebelah mananya?! Sampeyan yang jelas-jelas menghina!” pak RW menggebrak meja. Nampaknya ia yang paling emosional dibandingkan kedua rekannya. Maklum, veteran tentara berpangkat terakhir letnan I.

Pak Hasan menarik nafas panjang lagi, mengumpulkan sisa-sisa kesabaran menahan diri.

Lha gimana ndak menghina, lha wong Gusti Allah sudah Dhawuh, Gusti Allah itu Maha Mendengar. Ndak usah berdoa kenceng-kenceng pake sepiker, daun jatuh di tengah hutan aja Gusti Allah Mendengar. Lha opo sampeyan kira Gusti Allah itu tuli, sampe perlu teriak-teriak pakai sepiker buat berdoa?”

Muka ketiga tamu pak Hasan merah padam, antara menahan marah dan malu tak bisa membalas kata-kata pak Hasan.

“Saya kan sudah bilang baik-baik ke pak Maksun buat ndak usah pake sepiker kalau buat acara ngaji dan pujian malam-malam. Kasian sama anak-anak, orang tua di sekitaran langgar yang ndak bisa tidur gara-gara acara di langgar sampai tengah malem, kadang malah sampai pagi. Memuji kanjeng nabi itu sunnah memang. Tapi kan ndak harus pakai sepiker juga tho, kedengeran sampe ke desa tetangga. Lagipula…” pak Hasan menyeruput kopinya santai. Pahit. “Lagipula, gimana sampeyan mbayangin perasaan kanjeng nabi, yang ngajarin kita untuk ndak ngganggu tetangga, ngeliat sampeyan sekalian pujian yang bikin orang-orang ndak bisa istirahat tenang semaleman suntuk.”

Ketiga tamunya tak bisa menjawab, hanya mampu mengeraskan rahang dan mengepalkan tangan.

“Dan karena pak Maksun tetap ngeyel ndak mau ngecilin volume, malah tambah dikerasin, ya sudah saya ndak ada jalan lain tho? Ya saya turunin saja sepikernya, saya potong kabelnya. Selesai.” Pak Hasan terkekeh, memperlihatkan deretan giginya tuanya. Mata dengan bola mata kehijauan itu bersinar jenaka, seolah insiden penurunan sepiker surau itu kejadian lucu, dan seolah ketiga tamunya tak pernah marah-marah dan mendampratnya.

Pak RW tak sanggup lagi menahan kesabaran, menggebrak meja keras, menatap pak Hasan garang, dan berdiri, berjalan pulang dengan penuh kemarahan. Diikuti kedua sobat setianya, pak Maksun yang air mukanya sudah berubah dari marah menjadi sedikit malu karena tak bisa menafikkan ada rasa setuju pada kata-kata pak Hasan, dan pak Kades yang mengikuti kedua rekannya setelah menyeruput tandas kopinya, tadi pagi belum sempat ngopi.

Pak Hasan dengan kalem menyeruput lagi kopinya. Pelan mengambil koran pagi, dan mulai menikmati berita seolah tak pernah terjadi apa-apa di minggu pagi yang cerah itu.

Langgar: surau

Belukar, Jalan kecil, dan Diriku

Jaman masi kecil, suka dibanding-bandingin; ‘Kamu itu mbok ya blajar yang rajin kaya mbak Ini’, ‘Kamu itu pemales banget, nyuci piring sendiri ndak mau. Mbok kaya dek Itu,’ ‘Hoalaaaah kapan nilai rapot kamu bagusnya? Mas Kuwi tuh, langganan juara satu terus.’
Jelas benci banget pas jaman kecil dulu kalo dibanding-bandingin. Tapi entah kenapa, pas gede, sadar ga sadar malah sering mbanding-mbandingin diri sendiri ama orang lain. Si Itu keren ih, bisa keliling dunia. Si Nganu hebat ih, sukses karirnya. Si Ini sempurna banget deh hidupnya. Da aku mah apa atuh…mung gogrokan sego ampok…
Abis mbanding-mbandingin, jatohnya sombong kalo ngerasa lebih dibandingin orang lain, dan ngerasa iri kalo ga bisa kaya orang lain. Dan jadi lupa ama nikmat yang dimiliki. Trus lupa syukur. Trus ngeluh. Ga terima ama keadaan sendiri. Trus stress sendiri.
Padahal, di atas langit masih ada langit. Mau ngerasa lebih, masih banyak yang lebih.
Padahal, di atas langit masih ada langit. Ngerasa kurang dan terus mengejar ke atas. Dijamin tak akan pernah sampai pada kata puas.
Seperti perjalanan; start, bekal, jalur yang dilalui, kondisi jalan, halangan, kemudahan, segalanya berbeda di hidup satu orang dengan orang lainnya. Kalo startnya udah beda, masa iya mo dibandingin jarak tempuhnya? Kalo bekelnya beda, masa iya mo dibandingin staminanya?
Hidup ini jalurnya sendiri-sendiri, Si. Rintangannya sendiri-sendiri. Ndak usah sombong, belom tentu hidupmu lebih berarti dan bermanfaat. Ndak usah iri, bisa jadi kemudahan yang terlihat dicapai setelah melalui masa sulit–yang belom tentu kamu bakal kuat melaluinya.
Orang itu kurang lebihnya sendiri-sendiri, Si. Ndak perlu dibanding-bandingin. Ndak ada manfaatnya. Kamu ya kamu. Hidupmu ya hidupmu. Mau orang bilang ini itu, yang tau seluruh ceritamu ya kamu sendiri. Ndak perlu jadi orang lain. Ndak perlu sehebat orang lain. Jika itu bukan kamu.

Jadilah dirimu. Dirimu yang bermanfaat saja. Itu sudah cukup.
Seperti kata pak Taufik Ismail, di puisi Kerendahan Hati (salah satu syair favorit, lepas dari isu plagiarisme di dalamnya)
Kalau engkau tak mampu menjadi beringin yang tegak di puncak bukit

Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, yang tumbuh di tepi danau.
Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,

Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan.
Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya

Jadilah saja jalan kecil,

Tetapi jalan setapak yang membawa orang ke mata air
Tidaklah semua menjadi kapten

Tentu harus ada awak kapalnya….
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu

Jadilah saja dirimu….
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri

Gajah, Kuman, dan Jari (NR15-8)

Ada pepatah, “Gajah di pelupuk mata tak nampak, kuman diseberang lautan nampak.” (ya iyalah gajah di pelupuk mata nama mungkin nampak, ngeliat aja susah…kebayang kan gajah segede itu?).

Ada juga yang bilang, “Ketika kamu menunjuk kesalahan orang lain dengan telunjukmu, sesungguhnya 3 jari lainnya menunjuk dirimu sendiri.” (jempolnya nunjuk orang sebelah).

Pernah juga denger di acara talk show di tv, “…kesalahan atau kekurangan yang nampak pada orang lain sebenernya adalah kesalahan atau kekurangan yang ada pada diri kita. Karena kita ga akan nyadar adanya kekurangan yang ada pada orang lain kalo ga ada pada diri kita.” (Hayoloooo).

Kata kakak, “Githok’e dhewe ora ketok, sing ketok githok’e wong liyo.” (Kita ga bisa ngeliat tengkuk sendiri, yang kelihatan hanya tengkuk orang lain).

Saya suka kesel kalo diseruduk ditabrak disenggol orang pas jalan di stasiun. Kalem kenapa sih, maen sradak sruduk aja ganggu orang! (Padahal pas keburu-buru ngejar kereta berikutnya di hari senin pagi yang nyaris selalu telat, saya pasti ga sadar udah bikin kesel orang lain karena sradak-sruduk nabrak sana sini).

Saya suka kesel kalo ada orang jalan kaleeeeem banget naik turun tangga, ato jalan ga di jalurnya, ato santai jalan jejeran sambil ngobrol sama temennya di koridor sempit stasiun, ketika saya sedang buru-buru musti ngejar kereta karena telat. Beneran mendzolimi orang lain! (Padahal kalo ga lagi buru-buru, ato lagi jalan sama temen, saya suka jalan kaleeeem (sambil menelaah makna hidup *tsaaah) atau jalan jejeran sambil ngobrol lalalili tanpa mikirin apakah orang di belakang lagi buru-buru apa enggak).

Saya suka kesel sama orang yang ga mau ngeliat muka lawan bicara pas ngomong (dalam hal ini, sesama perempuan). Ga ngehargain orang banget kesannya. Saya ngerasanya dia ga suka sama saya! (Padahal mungkin udah ga keitung saya ngomong sambil nyuekin lawan bicara. Sengaja maupun tidak untuk tak melihat mukanya).

Saya super kezels sama anak muda di kereta, yang duduk sambil tidur nyenyak (ato pura-pura tidur?) padahal ada lansia berdiri di depannya. Ga punya e-ti-ka! (Padahal udah ga keitung saya duduk ketiduran di kereta, dan mungkin saat itu ada lansia, ibu hamil, orang sakit, ato anak-anak yang lebih berhak duduk sedang berdiri kesusahan di depan saya).

Saya suka sakit hati dengan kata-kata orang lain yang ga bisa saya terima. Tajam sekali lidahnya menyakiti hati orang! (Padahal udah ga keitung saya udah nyakitin hati orang lain dengan ketajaman lidah saya, sengaja maupun tidak).

Entah udah berapa kali saya kesel karena orang berprasangka buruk pada saya. Konfirmasi! Apa-apa itu konfirmasi dulu, jangan maen menyimpulkan sendiri! (Padahal bisa jadi sayalah yang berprasangka buruk padanya, menyangka ia berprasangka buruk pada saya).

Saya paling ga suka diomongin di belakang. Kalo ga suka, tolong bilang langsung aja! Dilarang agama tau ngomongin jeleknya orang di belakang itu! (Padahal sudah sucikah saya dari perihal ngomongin orang? Belum. Blas belum).

Saya ga suka sama yang suka pamer. Sombong. Ga peka banget sama hidup orang lain. Memotivasi sama pamer emang beda tipis! (Duh…padahal bisa jadi yang saya anggap pamer tak pernah bermaksud pamer, sedangkan ketika saya memamerkan sesuatu (emang ada gitu yang bisa saya pamerin?) dengan maksud benar-benar pamer, saya sibuk mencari pembenaran, ‘Ini ga pamer kok, bukan sombong. Ini memotivasi orang lain aja, siapa tau bermanfaat buat orang lain. Ini mengeluarkan ide aja kok…ini menginspirasi aja kok…ini blablabla aja kok…’).

Diantara segala hal buruk (menurut saya) yang saya lihat pada orang lain, sesungguhnya sayalah yang paling buruk. Diantara segala kekurangan yang saya lihat pada orang lain, sesungguhnya sayalah yang paling banyak kekurangan. Ketika telunjuk saya mengarah pada orang lain, tiga jari saya benar-benar menunjuk ke diri saya sendiri.

Mungkin lain kali saya musti pake lima jari kali ya kalo mau nunjuk kesalahan orang lain…*dilempar bakiak*
Ramadhan sudah tinggal hitungan jari. Saya memohon maaf atas segala kesalahan, baik yang saya sengaja maupun tidak, yang saya sadari maupun tidak.

Bahagia, Pilihan, dan Penerimaan (NR15-7)

Kemaren pulang dari satu acara, berbincang dengan seorang kawan.

Tentang satu kata bernama ‘bahagia’.

Iyakah, bahagia itu sesederhana kata-kata yang merangkainya?

Iyakah, bahagia itu semudah mengucapkannya?

Iyakah, bahagia itu sebuah pilihan?

Mungkin bahagia adalah penerimaan.

Penerimaan atas apa yang ada sekarang.

Penerimaan atas keinginan yang tidak dan belum terkabul.

Penerimaan yang tak membuat hati tertarik untuk menengok ke belakang, menoleh ke kanan-kiri, dan melongok ke depan.

Penerimaan, bukan berarti kepasrahan tanpa usaha.

Penerimaan, jelas tak sama dengan tak memiliki keinginan.

Penerimaan atas keadaan yang ada sekarang, setelah melalui usaha untuk mewujudkan keinginan.

Penerimaan atas keadaan sekarang, dengan tetap memiliki cita-cita dan harapan perubahan di masa depan.

Karena, tak akan berubah keadaan tanpa diusahakan.

Karena tak akan pernah sampai ke bintang jika hanya berjalan.

Tapi, tak akan juga bahagia tanpa penerimaan.

Atas kemanisan, keindahan, kepahitan, dan kegetiran.

Sibuk menengok ke belakang, bukan untuk berkaca, hanya untuk berharap masa-masa itu bisa kembali lagi.

Kecuali Undur-undur, hidup itu berjalan ke depan.

Yang sudah lewat tak akan pernah terulang.

Sibuk melihat kiri-kanan, bukan untuk mendapatkan inspirasi, motivasi, dan teladan, hanya iri dengan kehidupan yang nampak lebih indah dari mereka yang kelihatan lebih beruntung.

Semisal satu bola raksasa di depan mata. Seperempat sisinya musim semi, seperempat sisinya musim panas. Seperempat sisinya musim gugur, seperempat sisanya musim dingin. Jangan-jangan dari tempat berdiri yang nampak hanya indah musim seminya? Padahal bisa jadi musim dingin super berat dengan badai salju juga melanda. Jangan-jangan dari tempat berdiri yang nampak hanya romantisme musim gugurnya? Padahal bisa jadi musim panas dengan angin topan tak berhenti menerpa. Mungkin itulah hidup yang telah dilalui orang lain, dan sedikit yang terlihat di mata.

Sibuk melongok ke depan, bukan untuk mendefinisikan cita-cita, hanya karena tak tahan dengan keadaan sekarang.

Mengangan-angankan keindahan masa depan, hingga lupa bahwa yang dihadapi adalah sekarang. Mengkhawatirkan kesusahan masa depan, hingga lupa bahwa hidup adalah sekarang.

Sibuk menerka-nerka peran, menjalin alur sendiri di kepala. Lupa bahwa naskah telah disiapkan, dan ada yang harus dijalankan. Lupa, bahwa kehidupan adalah sekarang. Dan masa depan adalah rahasia Tuhan.

Kadang, ucapan “Semoga selalu diberikan kerelaan menjalankan apa yang Tuhan berikan” memberikan sedikit banyak ketenangan setiap selesai mengucapkan satu harapan. Karena apa yang Ia berikan adalah selalu yang terbaik.

*makasiiii udah ngajarin banyak hal, Kawan*

Waktu, Jiwa, dan Makna (NR15-6)

Tiktak tiktak
Jam terus berdetik
Waktu terus berdetak
45 menit menuju deadline tulisan hari ini
Tak ada bahan yang ingin benar-benar ditulis

Tiktak tiktak
Saya malah nonton tipi
Dengan kepala kosong tak benar-benar mengikuti isi bangumi

Tiktak tiktak
Sudah lewat lima menit
Sesekali iseng melirik iklan

Dan lagu jingle iklan mobil kenapa bisa sama dengan iklan interior?
Dan lagu iklan koyo kaki kenapa bisa mirip sekali dengan lagu iklan mie?
Dan iklan pabrik sabun kenapa nyaris selalu bermodel tv announcer?

Random
Ini baru nulis random
Jangan tanya manfaatnya

Saya sedang mengurai satu-satu keberadaanya

Karena rutinitas tanpa jiwa kadang hanya berakhir pada menggugurkan kewajiban
Tanpa kemanfaatan
Alih-alih untuk orang lain
Bagi diri sendiri saja jadi beban

Itulah mungkin yang membedakan orang yang benar-benar mencintai apa yang ia kerjakan dengan orang yang sekedar bertahan hidup dengan apa yang ia kerjakan

Persis seperti saya kerjakan sekarang

…semoga ini tak berakhir menjadi rutinitas tanpa jiwa.

Hidup, Arti, dan Diam (NR15-5)

Ada acara favorit saya di Asahi TV setiap jumat malam jam 9. Menceritakan orang-orang Jepang yang berada di luar Jepang, di desa-desa terpencil yang sulit diakses. Tentang kenapa mereka memutuskan meninggalkan segala kemudahan, kemewahan, dan keluarga di Jepang; tinggal di negri asing–desa terpencil pun, yang kadang untuk mengakses kota harus naik bus dempet2an berjam2, tanpa kenalan, tanpa keluarga, dan susah2 berjuang bertahan. Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Apa yang mereka cari?

Macam-macam kisahnya, mulai dari seorang elit lulusan Tokyo University sampai seorang veteran tentara perang. Dari yang bekerja pada lembaga negara, sampai pada petani kopi.

Ada yang ilmuwan elit di Tokyo, memutuskan jadi volunteer di Afrika buat membangun sebuah desa. Ada yang sudah sepuh sangat, yang ternyata ahli pertanian di…agak2 lupa saya, Brazil kalo ga salah ya. Ada yang merintis pusat penelitian antariksa (ini saya ngarang namanya saking udah ga inget lagi) di Chili. Ada seorang ibu2 yang mendirikan sekolah di Afrika (lupa persisnya) untuk anak-anak jalanan. Yang barusan, seorang petani kopi di Nepal yang ninggalin semua kemudahan di Jepang dan memulai pertanian kopi dari nol, yang telah membuka lapangan kerja dan jalan pemasaran untuk para petani kopi yang nyaris (ada yang sudah) gulung tikar.

Kisah mereka berbeda, latar belakang mereka berbeda, dan alasan meninggalkan Jepang berbeda.

Yang menjadi kesamaan mereka adalah, betapa bernilainya hidup mereka ketika hidup tak sekedar untuk diri sendiri saja. Betapa ramainya jalan sepi yang mereka pilih ketika terpisah dari keluarga. Betapa kayanya hidup yang bermanfaat tak hanya demi diri sendiri, tapi juga dibagi untuk sesama.

Yang menjadi kesamaan mereka adalah, betapa mulianya hati mereka. Diam dalam kebermanfaatan, tak perlu riuh ramai untuk menunjukkan kebaikan.

Yang menjadi kesamaan mereka adalah, bahwa bahagia bukan harta. Dan harta bukan benda. Bahwa bahagia adalah bermanfaat untuk sesama. Dan harta adalah hati.

Ketika mereka yang tadinya harus minum air tercemar yang harus diakses dengan jalan kaki berkilo-kilo meter, akhirnya bisa minum air sumur jernih. Ketika desa dengan masyarakat berpendapatan tak pasti adanya, sekalinya ada pasti rendahnya, akhirnya bisa hidup layak. Ketika anak-anak jalanan dengan tatapan mata kosong yang nyaris mati di jalan karena menghisap lem bisa memiliki senyum ceria dengan mata berpendar indah di dalam kelasnya, bermimpi tentang menjadi astronot dan dokter.

Ah, betapa banyak orang hebat di luar sana. Orang hebat yang tak pernah membusungkan dadanya. Yang tak riuh dalam bicara, menyebarkan berita hebatnya. Yang tak menginginkan sama sekali popularitas. Merasa yang mereka lakukan adalah satu kewajaran, bukan hal istimewa. Rame ing gawe, sepi ing pamer lan pamrih. Ramai dalam bekerja, sepi dalam pamer dan pamrih.

Selalu terngiang, “…sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk sesama” (Muhammad bin Abdullah)

Tembok, Melarikan diri, dan Pulang (NR15-4)

Beberapa hari lalu, setelah gempa gede mengguncang hampir seluruh wilayah Jepang.

“Jadi makin khawatir ya sama isu gempa gede di Kanto.”

“Iya. Kamu sih enak. Kalopun gempa gede beneran masi ada tempat melarikan diri. Saya kalo gempa gede beneran ada, ya hidup mati disini…”

***

Berbulan-bulan yang lalu.

“Kerjaan lagi berat banget nih. Udah gitu ngerasa ga cocok ama orang sini. Stress banget!”

“Ya…ga usah terlalu dipaksain. Kalo emang udah ga bisa bertahan, kan bisa balik ke negaramu.”

“Aku enggak kaya kamu. Kamu mah enak, masih ada tempat melarikan diri. Pasti diterima ama keluargamu. Aku ga mungkin balik dalam keadaan gagal ke negaraku. Aku satu-satunya yang dibanggain orang tuaku. Bisa dimarahin abis kalo aku keluar kerja dari sini trus kerja di negaraku.”

***

Beberapa tahun yang lalu.

“Kabarnya stress dia, ga dapet-dapet kerja.”

“Hm…tapi masa sampe bunuh diri? Di kampus pula…”

“Ya kita sih enak, kalopun apes ga lulus kuliah ato ga dapet kerja disini, ato ga kuat ngadepin apa-apa di sini, masih selalu ada tempat melarikan diri. Masih selalu ada tempat pulang. Tempat yang selalu nerima kita apapun keadaan kita.”

***

Dalam ketiga dialog itu, saya selalu menjadi pihak yang dituduh beruntung selalu punya tempat ‘melarikan diri’. Itu mungkin keuntungan paling mengirikan dari seorang perantau. Selalu ada tempat pulang. Selalu ada tempat yang menerima, kalaupun di perantauan tak kerasan. Itupun perantau yang beruntung. Karena nyatanya banyak teman-teman saya yang ga bisa semudah itu ‘melarikan diri’. Ada harapan orang tua dipundak mereka. Ada kehormatan dan harga diri di sana. Dan ada ketidaksukaan pada negri sendiri.

Jadi inget, beberapa waktu lalu pernah hopeless se-hopeless2nya, merasa dame se-dame2nya, dan memutuskan melarikan diri, pulang kampung for good. Awalnya saya berfikir keluarga akan menyemangati untuk bertahan. Mengatakan ‘Kamu pulang di sini mau kerja apa?’ atau ‘Masalah itu buat dihadapi, bukan ditinggalin dan melarikan diri’. Ternyata, cukup bilang ‘Saya ga kuat’, dan keluarga ga banyak bicara kecuali berkata mantap, ‘Ga usah dipaksa kalo ga kuat. Pulanglah.’

Sempet kaget pas denger Ibuk dan Mas bisa seenteng itu ngijinin pulang tanpa ngasi pertimbangan apapun. Padahal selama ini, Ibuk adalah orang yang ngajarin saya buat ga pernah melarikan diri dari masalah apapun. Buat menghadapi, seberapapun besarnya seperti apapun beratnya. “Hidup itu intinya menyelesaikan masalah. Dan masalah itu ga akan tambah kecil, tapi pasti tambah gede. Karena hidup itu jalan ke depan, maju, ga mundur (kecuali hidupnya Undur2 mungkin ya). Masalah yang kamu adepin pas SD ga sebesar sama yang kamu adepin pas kuliah. Kalo kamu lari dari masalah sekarang, apa kamu bisa bertahan hidup dan nyelesain masalah yang lebih gede di masa depan?” begitu yang sering dibilang Ibuk. “Ndongo, nyuwun ning Pengeran. Ora enek masalah sing ora enek jalan keluare. Sing penting ikhtiar lan ndongo.” (Berdoa, minta (petunjuk, pertolongan) pada Tuhan. Ga ada masalah yang ga ada jalan keluarnya. Yang penting usaha dan berdoa).

Alhamdulillah saya adalah salah satu perantau beruntung yang masih punya tempat pulang. Atau tempat melarikan diri–versi orang2 di sekeliling saya. Tapi semoga, saya ga akan pernah lagi mencoba melarikan diri. Ga akan pernah lagi melarikan diri. Dari masalah, sebesar dan seberat apapun. Kalopun pulang suatu saat nanti, adalah karena itu tempat pulang saya. Karena sudah saatnya pulang. Bukan karena melarikan diri dari apapun di sini.

Manusia, Kasta, dan Rahasia (NR15-3)

Manusia (di mata saya–termasuk saya) suka mengkelas-kelaskan sesuatu. Entah untuk tujuan mempermudah mengingat, mengetahui pola, membenarkan pendapat, menyelesaikan persoalan, ato emang kurang kerjaan.

Di desa saya, dulu pas saya kecil (ga tau deh kalo sekarang), ada banyak kelas. Kelas profesi: buruh tani, kuli, pedagang, tukang, buruh pabrik, PNS, bos tani, pegawai bank atau karyawan perusahaan besar, pejabat publik. Rasa hormat dan perlakuan meningkat dari kiri ke kanan.

Kelas keterlihatan harta: miskin berumah gedhek berlantai tanah makan nasi dan garam, agak lumayan berumah tembok berlantai semen makan nasi dan sayur, lumayan biasa berumah tembok berlantai semen makan 4 sehat 5 sempurna, kaya berumah gedhong berlantai keramik punya motor tv kulkas (ga usah ditanya soal makanannya lah ya), kaya berumah gedhong berlantai keramik bermobil rumah berAC. Perlakuan dan rasa hormat juga meningkat dari kiri ke kanan.

Lalu guru-guru kami juga (mungkin ga sengaja) ‘mengajari’ kami mengklasifikasikan: murid miskin kurang gizi muka melas beringus yang diajarin sampe pingsan ga bakal mudheng isi pelajaran ga naik kelas 3-4 kali dan suka disebut dhedhel, murid dengan orang tua lumayan mampu tapi kemampuan belajar ga lebih baik dari yang disebut dhedhel, murid dengan kemampuan ‘mengikuti’ pelajaran rata-rata kadang dapet sembilan kadang dapet lima, dan murid-murid pintar yang ga pernah dapet nilai dibawah sembilan. Perlakuan guru dan cara memanggil akan meningkat kelembutan dan muatan sayangnya dari kiri ke kanan.

Sampai saat ini saya masih ga paham kenapa kelas yang atas boleh duduk di kursi dan kelas bawah musti bersimpuh di lantai. Saya masih suka sebel sendiri kalo inget bu guru suka memanggil anak yang pintar di pelajarannya dengan imbuhan ‘mas’ atau ‘mbak’, selalu mendahulukan pas memberi nilai, dan sering mengajak bicara; sementara kalo dengan mereka yang diklasifikasikan ‘dhedhel‘, bandel, ga punya udel, muka bu guru ga ada senyum, bersuara tinggi dengan nada bicara seperti membentak, dan sering marah-marah. Ah, mungkin beliau hanya lelah…

Padahal bisa jadi, kelas yang ‘apes’ dapet perlakuan terendah dan rasa hormat tersedikit (ato bahkan ga dapet?) adalah kelas yang paling amanah orang-orangnya. Yang berdedikasi dengan pekerjaannya. Yang paling ikhlas hatinya. Yang paling baik perilakunya.

Bisa jadi mereka yang berada di kelas harta terendah adalah yang paling bersyukur orang2nya. Yang paling sabar hatinya. Yang paling tebal imannya. Yang paling dermawan, murah hati, dan tulus. Yang paling mulia akhlaknya.

Dan bisa jadi, murid yang dimasukkan ke dalam kelas dhedhel dan selalu mendapat bentakan guru adalah yang paling sukses di masa depannya. Yang paling bermanfaat buat orang sekitarnya. Yang paling menghormati gurunya.

Sok-sok-an protes kaya ginipun, ternyata sayapun dari kecil suka mengkelas-kelaskan orang. Jaman kecil, pas lebaran, sebelum keliling ‘silaturahim’ ke tetangga se-dusun, saya dan saudara-saudara sekomplotan selalu mengkelas-kelaskan ‘target’ kami. Kapan kami memutuskan untuk duduk sejenak, kapan kami cuman salaman dan langsung mohon diri. Di rumah mbah A, jajan lebarannya cuman rempeyek dan rengginang meski ditaruh di kaleng Khong Guan, salaman aja. Di rumah pak B, suka ada kacang mede, lumayan bisa dikantongin buat cemilan, mampir sejenak. Di rumah bu C, sirupnya sirup Marjan, kadang pake es batu, mampir. Di rumah Lik D, ga ada apa-apa selain asbak, lewatin aja. Maafin saya para tetangga, baik untuk yang cuman dilewatin maupun yang ‘dicolongin’ kue lebarannya.

Semoga saya bisa belajar buat berhenti mengkelas-kelaskan orang. Baik saat lebaran maupun sesudah lebaran (kaya yang masih bisa ngantongin kue aja pas lebaran).

Pengiri, Mercon, dan Korek api (NR15-2)

Di dunia ini ada 2 jenis manusia pengiri. Jenis pertama adalah pengiri tipe mercon. Jenis pengiri yang ini adalah jenis pengiri yang menggunakan rasa irinya sebagai motivasi, bahan bakar untuk bisa menjadi lebih, atau paling tidak sama-lah dengan yang di-iri-in. Dia tak cuman mendongak ketika melihat yang lebih darinya, tapi juga melihat ke dirinya sendiri, dan mencoba melompat, meledak, berpendar (sumpah ini lebay) menjadi lebih. Keinginan untuk menjadi lebih dari orang lain membuatnya sibuk membangun diri sendiri. Tipe ini nampak berhak iri karena dengannya dia menjadi sesuatu, seseorang yang lebih.

Tipe kedua adalah tipe korek api. Tersulut pas liat orang lain ‘lebih’ dari dirinya, dalam artian pengen, tapi ya udah gitu aja. Apinya cepet mati. Cuman mampu iri tapi ga mau berusaha menjadi lebih baik. Ini adalah tipe iri yang paling menyebalkan sedunia. Dan saya kayanya masuk tipe ini.

Bagusan sih ga iri. Tiap orang startnya beda, potensinya beda, tracknya beda. Ga perlu dibandingin. Ga bisa dibandingin. Tapi ya, cara pandang orang juga macem-macem sih…

*Maaf kalo tulisan ini aneh. Yang nulis cuman sempet tidur 2,5 jam semalam. Dengan sisa-sisa kesadaran yang ada.*